A. Prawacana; Tradisi dan Revolusi Industri
Adanya fenomena revolusi industri 4.0 yang sarat akan disrupsi ini, menjadikan praktik Keagamaan umat Islam di Indonesia sangat variatif. tradisi-tradisi khas Islam Nusantara harus dijaga bahkan dikuatkan. Sebab, selain disrupsi teknologi, budaya dan agama juga rentan tercerabut dari akarnya.
Hampir semua budaya khas Islam Nusantara dianggap bid’ah, syirik bahkan sesat. Wajah Islam seperti ini harusnya diluruskan. Tipe Islam di Indonesia yang dari dulu dekat dengan tradisi bukanlah wujud perilaku menyimpang, melainkan representasi rahmat bagi semua alam. Kekerasan dalam Islam yang bermuara pada fikrah (pemikiran), akidah (keyakinan), amaliah (tradisi/amalan), dan harakah (gerakan) harus diluruskan dengan mendekatkan pada tradisi Islam Nusantara yang moderat, ramah, toleran melalui tradisi- tradisi lokal.
Dalam beragama, umat Islam wajib mengedepankan keseimbangan (harmonisasi) antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Harus menjaga keseimbangan antara manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminnas), bahkan hubungan dengan alam dan makhluk lainnya.
Setiap agama yang datang di suatu daerah, maka mau tidak mau agar ajaran agama itu dapat diterima masyarakat secara baik, penyampaian materi dan ajaran agamanya harus bersifat “membumi”. Artinya, ajaran agama itu harus menyesuaikan diri dengan aspek lokal, agar tidak bertentangan secara diametric dengan ajaran substantif agama tersebut. Demikian gambaran kehadiran Islam di Jawa atau Nusantara ini. Sejak awal, Islam begitu mudah diterima, karena pada penyebarannya menyampaikan Islam secara harmonis. Metodenya, merengkuh tradisi baik sebagai bagian dari agama Islam sehingga masyarakat merasa “enjoy” menerima Islam menjadi agamanya.
Umumnya, pendakwah Islam dapat menyikapi tradisi lokal dengan memadukannya menjadi bagian dari tradisi “islami”. Mereka memanfaatkan kearifan lokal dan dikolaborasikan dengan nilai-nilai ajaran Islam melalui adaptasi dan interaksi guna terciptanya kerukunan dan harmonisasi antar umat beragama. Seperti contoh tradisi kelahiran, pernikahan, dan kematian yang merupakan tradisi berbentuk asimilasi antara budaya Jawa (tsaqafat al-jawiyah) dengan budaya Islam (tsaqafat al- islamiyyah). Sentuhan-sentuhan islami mewarnai dalam berbagai ritual yang dilaksanakan masyarakat menjadi bukti keberhasilan dakwah Islam yang berwajah rahmatan lillalamin.
Selain tradisi-tradisi di atas, jika didata banyak sekali tradisi khas Islam Nusantara. Ada nyadran, kenduren, tahlilan, manakiban, sedekah bumi, sewelasan, dibaan, burdahan, haul, ziarah kubur, suronan, apitan, syawalan, takbir keliling, lamporan, kupatan, dan lainnya. Semua tradisi tersebut menjadi bukti bangsa ini sangat kaya akan kearifan lokalnya yang memiliki substansi religiositas, budaya, bahkan nasionalisme.
Islam di Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan yang unik. Oleh sebab itu, penyebaran Islam di Jawa bersifat akulturasi, baik bersifat menyerap maupun dialogis. Pola akulturasi Islam dan budaya Jawa, disamping bisa dilihat pada ekspresi masyarakat Jawa, juga didukung kekuasaan politik kerajaan Islam Jawa, terutama Mataram yang berhasil mempertemukan Islam Jawa dengan kosmologi Hinduisme dan Budhisme.
Islam bukan representasi bentukan manusia beringas, rakus akan kekerasan. Islam dengan nilai esotericnya mampu menciptakan moralitas dalam memberi cahaya damai di tengah-tengah masyarakat yang plural. Demi membungkam sekaligus mencerahkan pemahaman tentang Islam dangkal, perlu pemahaman Islam substantif. Diperlukan penyegaran keberagamaan lebih mendalam dan peresapan yang menghadirkan rekonstruktif terhadap nilai-nilai Islam sebagai arsitektur dalam tatanan sosial melalui nilai-nilai esotericnya.
B. Ruwahan
Tradisi Ruwahan diadakan dalam rangka memperingati paruh bulan Sya’ban, bulan ke delapan kalender Islam. Kata “Ruwah” (dalam bahasa Jawa) berasal dari kata Arab ruh (jamak: arwah), yang berarti “jiwa”. Menurut Muhajirin dalam bukunya Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisir, pada malam tanggal 15, pertengahan bulan Ruwah (Nisfu Sya’ban), pohon kehidupan yang pada daunnya tertulis nama-nama manusia bergoyang. Jika daun gugur, ini berarti orang yang namanya tertera di daun tersebut akan mati pada tahun mendatang. Tidaklah mengherankan jika sejumlah orang menggunakan hari tersebut untuk mengenang yang mati atau berziarah. Sesuai dengan tradisi ini, sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan bahwa pada malam nisfu (pertengahan) bulan Sya’ban, Allah turun ke surga yang paling rendah dan mengunjungi makhluk hidup untuk memberikan ampunan-Nya.
Karena itu, bila ditinjau dari aspek sosiologis tradisi sedekah ruwah dapat dijadikan media mempererat jalinan silaturahmi dan menyimbolkan persaudaraan sesama Muslim. Dalam konteks inilah, seperti dikatakan Geertz dalam jurnlanya yang berjudul The Interpretation of Culture, bahwa budaya yang telah mengakar dalam masyarakat (termasuk di dalamnya tradisi Ruwahan) merupakan bentuk simbolik, sehingga dengan adanya simbol itu manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.
C. Tradisi Nyadran sebagai khazanah islam nusantara
Dari segi etimologis, Nyadran diambil dari berbagai bahasa. Pertama, Bahasa Indonesia, dalam KBBI (2010), Nyadran dari kata sadran-menyadran yang berarti mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan lainnya) dengan membawa bunga atau sesajian. Kedua, Bahasa Sanskerta, sraddha artinya keyakinan. Ketiga, dalam Bahasa Jawa, nyadran diambil dari kata sadran yang artinya Ruwah Syakban lantaran dilakukan sebelum Ramadan. Keempat, dari Bahasa Arab, nyadran diambil dari shadrun yang berarti dada. Menjelang Ramadan, masyarakat harus ndada (introspeksi diri), menyucikan diri dari aspek lahir dan batin. Di berbagai daerah, nyadran memiliki idiom dan praktik beda. Nyadran dilakukan di tiap dusun atau kampung dengan berziarah ke kuburan. Mereka melakukan tahlil, doa bersama, meminta ampunan dan keseimbangan dengan alam.
Dalam konteks sosial, nyadran menjadi rangkaian budaya mulai dari pembersihan makam leluhur dan tabur bunga dan mendoakan mereka. Di Jawa Timur, nyadran masih lestari seperti di Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Surabaya, Gresik dan lainnya. Meski praktik dan nomenklaturnya berbeda, di Jawa Barat, masyarakatnya juga melestarikan nyadran. Namun secara umum berbeda karena tidak ada tradisi makan bersama di kuburan. Mereka hanya datang ke kuburan, tabur bunga, mendoakan, lalu pulang.
Dalam sejarahnya, nyadran merupakan akulturasi budaya Jawa-Hindu dengan Islam. Sebelum agama Islam masuk Jawa, masyarakat sudah mempunyai suatu adat yang menghormati roh leluhurnya. Di beberapa daerah di Jawa Timur, praktik nyadran memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat dengan adanya hasil panen melimpah. Kedua, menghormati para leluhur yang telah berjasa dalam membuka lahan (babat alas) sebagai tempat huni masyarakat sekaligus mencari kehidupan. Ketiga, nyadran dapat memperkuat solidaritas antar masyarakat. Keempat, lestarinya budaya-budaya asli daerah. Manfaat yang selama ini diperoleh masyarakat dengan nyadran yaitu warga merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta, jauh dari gangguan (bala) dan penyakit, hasil panen lebih baik.
D. Akulturasi Nilai-nilai sufisme dalam Nyadran
Banyak nilai-nilai terkandung dalam ritual nyadran. Tradisi ini tidak sekadar masalah makam/kuburan, namun erat kaitannya dengan kegiatan religius seperti doa, tahlilan, yasinan, manaqiban, pengajian, hingga wujud kemesraan dengan Allah dan alam. Di situlah nyadran memiliki akar-akar sufisme tinggi yang harus dikuatkan.
Sufisme merupakan akar kata dari tasawuf dan teosofi. Idiom teosofi berasal dari kata theos dan sophia yang artinya kebijakan ilahi. Tasawuf merupakan kehidupan yang selalu berusaha mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah melalui peningkatan dan penyempurnaan ibadah, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. Untuk mendekatkan diri pada Allah, tidak hanya melalui ibadah wajib, namun juga sunnah yang itu termanifestasikan ke dalam banyak tradisi khas Islam Nusantara.
Dalam Islam sendiri, khususnya di Indonesia banyak sekali tradisi khas lokal yang mampu mengomparasikan antara Jawa (Nusantara), Islam dan tradisi Barat. Salah satu tradisi itu adalah nyadran, selain mengandung kearifan lokal, nyadran mengandung nilai-nilai sufisme. Tradisi ini menjadi bukti Indonesia sangat kaya akan budaya dan tradisi yang tidak hanya berisi budaya dan kearifan lokal, namun juga sarat akan nilai-nilai religiositas serta sufisme.
Ada beberapa nilai-nilai sufisme yang terkandung dalam nyadran. Mulai dari syauq (kerinduan), tarkus syahwat (menahan hawa nafsu), muhasabatun nafsi (introspeksi diri), at-taubah (taubat), zuhud (orientasi ukhrawi/asketisme), al-hikmah (nilai kearifan), al-iffah (menjaga kesucian), al-syaja’ah (keberanian), dan al-a’dl (nilai keadilan).
Syauq (kerinduan)
Rindu yang dimaksud adalah cinta yang mendalam. Pelaku nyadran harus bisa mencintai Tuhan, manusia, dan alam sebagai wujud hamba yang taat,
Tarkus syahwat (menahan hawa nafsu)
Melalui nyadran, masyarakat akan ingat mati. Jika sudah ingat mati, mereka akan takut kepada Allah dan otomatis mampu menahan hawa nafsunya.
Muhasabatun nafs (instrospeksi diri)
Orang yang melakukan nyadran harus bisa introspeksi terhadap apa yang dilakukan selama setahun. Tidak hanya pada diri sendiri, namun juga pada hasil panen/rezeki yang diterima selama setahun yang sudah berlalu dan setahun ke depan.
At-taubah (taubat)
Melalui nyadran, masyarakat bisa sadar karena sudah introspeksi diri. Ketika pelaksanaan nyadran di kuburan/makam, masyarakat akang mudah ingat mati. Jika sudah demikian, maka mereka akan berpotensi tinggi taubat.
Zuhud (asketisme)
Jika sudah taubat, masyarakat pelaku nyadran akan mudah meninggalkan dunia secara batiniyah, karena meninggalkan di sini bukan berarti tidak membutuhkan dunia. Dunia yang dimaksud hanya menjadi jalan, bukan tujuan hidup.
Al-hikmah (nilai kearifan)
Kearifan di sini tidak hanya dalam berpikir, berbicara, dan bertindak, namun juga menjaga kearifan lokal dari tradisi nyadran itu sendiri. Sebab, nyadran menjadi produk tradisi khas Islam Nusantara yang erat kaitannya dengan Tuhan, manusia, dan alam.
Al-iffah (menjaga kesucian)
Kesuciaan masyarakat akan terjaga ketika mereka sudah dekat dengan Allah, manusia, dan alam. Kemesraan spiritual tersebut akan lahir ketika mereka rajin berziarah kubur di kuburan para wali, leluhur, dan orang tua yang sudah meninggal dunia.
Al-syaja’ah (keberanian)
Keberanian di sini tidak hanya pada berani datang ke kuburan, namun lebih pada keberanian menjaga agama dan negara. Sebab, melalui nyadran, masyarakat akan ingat mati, dan mengenang jasa para wali, kiai, dan pahlawan pendiri bangsa. Keberanian tersebut bermuara pada mendidik masyarakat untuk berani menjadi pembela bangsa dan penegak agama Islam yang rahmatal lillalamin.
Al-a’dl (nilai keadilan)
Keadilan di sini dimaknai sebagai karakter berbuat adil pada Tuhan, manusia, dan alam. Melalui nyadran, masyarakat akan ingat Tuhan, berbagi pada manusia lewat makanan, berbagi pada wali, kiai, atau pahlawan yang sudah wafat lewat doa/tahlilan, dan berbagi pada alam lewat doa.
Nilai-nilai sufisme dan potensi wisata pada nyadran harusnya membuka pikiran dan cakrawala ilmu bagi semua kalangan. Sudah seharusnya nyadran dikuatkan, dikemas, dan dimajukan dalam membangun tatanan kehidupan yang religius namun tetap mencintai bangsa dan budayanya.
Editor: Nawalintang Movement
Nyadranbudayajawa