Seandainya ada perempuan yang berusaha ‘loncat pagar’ dan membuktikan kemampuannya bersaing dengan laki-laki, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sangar dan bukan tipikal perempuan umumnya.
Ya, begitulah realitas yang terjadi saat ini. Saat kita tahu sejarah KOPRI yang begitu rumit dan kelam dimana KOPRI harus ada, bubar, dan ada lagi membuat polemik pro-kontra adanya KOPRI dari dulu hingga sekarang. Kilas sejarah berbicara bahwa bubarnya KOPRI dianggap kader KOPRI tidak mampu membuat LPJ dan tidak adanya program kerja. Padahal bisa jadi bubarnya KOPRI adalah awal dari pemberotakan kader KOPRI yang tidak puas karena hanya berproses di semi otonom PMII.
Anggapan bahwa adanya KOPRI hanya mempersempit ruang gerak kader putri ternyata sudah sejak dulu. KOPRI dianggap hanya membuat justifikasi kader putri tidak mampu bersaing dengan kader putra dalam memperebutkan posisi strategis di PMII. Menurut mereka satu-satunya jalan untuk bisa bertarung bebas dengan laki-laki adalah meleburkan perempuan dalam organisasi PMII.
Jika kita tarik sejarah, awal mula terbentuknya KOPRI diawali dengan adanya departemen keputrian. Dimana departemen tidak memiliki wewenang penuh untuk menjalin relasi ke luar karena harus memiliki persetujuan ketua umum. Akibatnya kader putri ketinggalan kereta untuk bereksplorasi ke luar menjalin relasi secara sosial politik. Adanya KOPRI sebagai badan semi otonom PMII adalah sebagai bentuk dari kemandirian KOPRI berdikari dan mampu membuat program kaderisasi sendiri untuk kader putri.
Menurut mantan ketua umum KOPRI, Luluk Nurhamidah, sebenarnya tak ada konstitusi yang melarang perempuan menduduki posisi tertinggi di organisasi. Tak ada peraturan organisasi yang menyatakan bahwa ketua umum harus dipegang laki-laki. Sayangnya, sosialisasi yang dilakukan tentang fakta ini tak mengurangi semangat sebagian besar anggota KOPRI untuk membubarkan diri.
Namun pembubaran KOPRI sangat disayangkan karena tidak diiringi strategi yang matang. Seharusnya solusi dari permasalahan ini adalah bisa dilakukan negoisasi tentang kuota perempuan di setiap level kepengurusan. Sehingga kader putri turut andil dalam posisi strategis di PMII. Karena menghilangnya organisasi perempuan berarti mempersempit peluang penguatan isu-isu perempuan di tingkat yang lebih bawah. Jangan-jangan pembubaran KOPRI hanya sebuah siasat patriarkis saja.
Kita tahu eksistensi kader KOPRI saat ini sudah tidak diragukan lagi. Bahwa kader putri sudah mampu menduduki posisi strategis ketua umum di setiap level kepengurusan. Itu adalah salah satu bukti KOPRI tidak hanya sebagai pelengkap dan merupakan suksesnya tujuan KOPRI dibentuk yakni guna membentuk lingkungan adil gender di PMII. KOPRI mencetak kader putri bukan untuk menyaingi kader putra akan tetapi mampu bekerjasama beringingan antar laki-laki dan perempuan.
Terbentuknya lingkungan yang adil gender di PMII tidak akan berhasil tanpa campur tangan kader putra. Grand desain yang dibangun PMII yakni strategi multi level gerakan, turut andilnya kerjasama antara kader putra dan kader putri adalah sebagai tolak ukur suksesnya kaderisasi di PMII yang lebih maju.
KOPRIpmiiofficial