Menyadari tentang pikiran adalah sebuah hal yang absurd jika ditelaah dengan cara sederhana, namun demikian malam ini, mencoba membaca pemikiran Albert Camus itu, sungguh membuat pikiran yang dahulu dianggap sebagai biang kerok depresi dan overthingking akan berubah menjadi haluan alternatif menemukan “keberadaan” kita sendiri.
Pikiran itu unik, semua manusia ikut berfikir baik secara menghasilkan gagasan atau berkutat pada pengalaman pribadi. Namun siapa sangka semuanya itu sangat berbeda dan tidak terbentuk dalam tindakan. Seseorang yang mengidap gejala depresi, pada malam hari ia akan selalu berpikir tentang kejadian, hal-hal baik kemungkinan buruk atau pun tidak yang tidak pernah terjadi, maka orang-orang modern itu sungguh malang sekali menyikapi hal semacam itu. Post-modern ini sungguh menuntut manusia akan “kesempurnaan” hidup, harusnya, namun tatkala melihat secara kacamata objektif sungguh runyam.
Dijalanan kita disuguhkan berbagai masalah dan kemalangan manusia; ketimpangan sosial antara kelas borjois dan proletariat, antara penegak hukum dan masyarakat sipil, polusi dan globalisasi, egoisme dan kejahatan sipil serta merta menjadi sebuah hal yang tidak bisa kita lepaskan dalam kehidupan saat ini. Apa yang disebut sebagai absurdisme kata Albert Camus itu sungguh di amin kan sebagaian orang agar tetap ada dan terus berlipat ganda. Namun tanpa disadari kebodohan itu juga andil dalam mempekeruh suasana, banyak sekali, semisal; mahasiswa yang terjebak dalam istilah atau kalimat yang mendogma bahkan terdoktrin, itu sungguh disayangkan dan terlihat bahwa independen pikiran mereka sungguh kolot dan dungu. Bahkan ranah bergerak mereka sebagai agent-agent propaganda tidak mencakup keseluruhan aktifitas dan intelektual.
Ini mungkin yang saya namakan sebagai non-pontifikal pada aspek kebermaknaan hidup manusia. Modernisasi sungguh kejam sekali, sekaligus menjadi momok yang menjebak benak kita saat ini. Naas sekali jika ilmu-ilmu langit seperti filsafat, teologi dan metafisika diharamkan, akan jadi apa manusia sekarang. Maka jika demikian hal-hal yang menjadi alternatif sekarang ini adalah buku, buki pribadi, tulisan pribadi. Kata tetua mazhab terbesar dalam islam yakni Imam Syafi’i pernah menekankan bahwa; “ikatlah ilmu atau gagasan itu dengan selongsong pena dan secarik kertas”.
Kita sangat tahu pilihan-pilihan sekarang dalam mengolah, memilah dan memilih buku bacaan adalah hal yang wajib, namun lebih dari itu, yakni aktualisasi berpikir dan tindakan yang diperlukan oleh manusia sehingga merekayasa diri sendiri dan sosial serta merta menjadi keniscayaan yang paling pasti terjadi pada abad modern ini. Literasi pun juga harus andil secara halus masuk kedalam relung hati manusia, apakab kita tetap menjadi tenaga “robot” pada pabrik-pabrik tanpa membaca, atau tukang berpikir yang ulung tanpa solusi yang berbobot?